Prakata

Hanya sebagai ekspresi atas ketidakadilan di negeri ini_______

20 Oktober 2010

PETISI BUAT POLITIK PENCITRAAN PEMERINTAHAN SBY-BUDIONO -1-

PETISI BUAT POLITIK PENCITRAAN PEMERINTAHAN SBY-BUDIONO
Pasca terpilihnya SBY-Boediono dipemilu 2009, JARI menilai tidak banyak membawa perubahan yang cukup berarti dalam proses kesejahteraan rakyat. Gonjang-ganjing politik nasional yang kemudian dipaksa menjadi konsumsi rakyat Indonesia melalui media-media di indonesia ternyata telah membuat rakyat lupa akan karakter pemeritntahan yang sesungguhnya saat ini sedang berkuasa. Perdebatan awal pemilihan capres-cawapres yang kemudian memposisikan bahwa wakil presiden boediono sebagai agen neolib sekiranya tidak bisa kita tinggalkan begitu saja, tetapi terlepas dari itu semua bahwa karakter rezim sebagai bagian dari agen neolib sudah sangat jelas terlihat. Sekali lagi bahwa naiknya SBY-Boediono telah merepresentasikan keberhasilan reproduksi dan reorganisasi rezim orde baru selama reformasi yang dikhianati oleh elit politik oligarki.
Terlepas dari itu banyak sudah catatan hitam kepemimpinan rezim SBY pada periode lalu. Lihat saja pada saat akhir periode kepemimpinan rezim SBY pada tahun 2009 lalu, dengan tidak malu-malu pemerintahan SBY pada pertemuan Kopenhagen yang membahas tentang perubahan iklim, kembali mengajukan utang untuk perubahan iklim menunjukkan ketidak seriusan pemerintah mendorong perundingan iklim yang adil. Utang tersebut diperoleh dari Jepang dan Perancis. Masing-masing $ 500 juta dari Perancis (AFD) dan $ 300 Juta dari Jepang (JICA), serta tambahan $ 400 Juta utang tahun ini untuk perubahan iklim dari pemerintah Jepang. Kebijakan pemerintah tersebut jauh dari prinsip keadilan iklim dimana negara maju seharusnya memberikan kompensasi terhadap negara berkembang bukan lewat pengucuran utang, hal ini kemudian menyebabkan Indonesia kembali masuk kepada jebakan utang yang cukup besar.
Kemudian dengan alih-alih melakukan pembangunan ekonomi rakyat, pemerintahan rezim saat ini ternyata melakukan hal yang sebaliknya. Kebijakan negara yang selalu berkiblat kepada mekanisme pasar, semakin terlihat. Kesepakatan perdagangan FTA (Free Trade Agrement) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia, juga menjadi bumerang bagi proses industrialisasi negeri ini. China sebagai raksasa baru negara industri akan melakukan eskpor besar-besaran hasil industrinya kepada Negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hal ini dilakukan menyusul dibebaskan bea masuk bagi semua hasil industri China dan inilah bentuk kesepakatan perdagangan FTA (Free Trade Agrement) yang terlanjur diikuti oleh Indonesia. Maka dapat diperkirakan bahwa situasi perdagangan di Negara-negara Asia Tenggara bahkan di Asia Pasifik akan menjadi sangat liberal dan kompetitif.
Melihat hal ini semua kemudian menjadi pertanyaan besar kita bahwa apakah Negara Republik Indonesia mampu keluar dari cengkraman kapitalisme internasional, mengingat bahwa sampai dengan saat ini dapat kita katakan karakter pemerintahan SBY-Boediono tetap sebagai agen neolib yang baik dan selalu siap sedia melakukan sekian banyak agenda neolib di republik ini - pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana diperintahkan AS, Inggris, Jepang, IMF, Bank Dunia, dan ADB. Catatan bahwa masih manutnya rezim Negara ini terhadap agenda-agenda neolib yaitu dengan semakin massifnya kekerasan Negara melalui kebijakan pemerintah baik itu berupa UU atau peraruturan pemerintah lainnya (baca: UU PM, UU Pengelolahan Pesisir, UU SDM dan lainnya).
Di sisi lain dalam situasi pemerintahan bentukan demokrasi proseduralisme, negosiasi politik ekonomi terus dilakukan, parlemen merupakan ruang negosiasi paling telanjang antara partai politik (pendukung maupun penentang semu) dengan pemerintahan dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan politik. Seringkali pemicunya adalah gerakan massa yang muncul akibat kebijakan (regulasi) Pemerintah yang mengikuti agenda-agenda neo kolonialisme-imperialisme yang menghantam penghidupan rakyat.
Masalah yang kemudian berakibat fatal adalah fenomena gerakan rakyat pasca reformasi menjadi masalah tersendiri. Semakin terfragmentasi gerakan-gerakan rakyat serta terjebak pada isu sektoralisme dan banyak juga gerakan-gerakan social lainnya terjebak pada isu konflik elit, sebenarnya semakin menjauhkan gerakan tersebut dari system social masyarakat sesungguhnya. Ini kemudian yang menjadi kritik besar kita terhadap fenomena politik nasional dan kritik kita terhadap karakter rezim saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar