Prakata

Hanya sebagai ekspresi atas ketidakadilan di negeri ini_______

20 Oktober 2010

Menggugat Fungsi Anggaran DPRD Kalimantan Barat

Menggugat Fungsi Anggaran DPRD Kalimantan Barat
“Mendorong kebijakan Anggaran yang berbasis hak dasar”

By. Indra Aminullah, S.Si

Peraturan memang memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk mengajukan raperda APBD untuk dibahas bersama DPRD. Lalu sejauh manakah kewenangan DPRD dalam menentukan APBD? Kekuasaan DPRD dalam menentukan APBN kuat, yaitu dapat menolak Raperda APBD yang diajukan Gubernur. DPRD juga dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Raperda APBD. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa usul perubahan itu dapat dilakukan sepanjang tidak mengakibatkan defisit anggaran. kewenangan yang lebih kuat lagi kepada DPRD dengan menentukan bahwa, "APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja". Karena itu, berdasarkan analisis peraturan saja kita dapat mengatakan bahwa dalam hal APBD, DPRD tidak hanya memegang kekuasaan legislatif, namun juga melaksanakan kekuasaan eksekutif, yaitu berperan dalam menentukan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Artinya selain Eksekutif, DPRD saat ini menjadi salah satu actor kunci terciptanya iklim pembangunan yang berpihak pada masyarakat miskin.

Kita memahami bahwa anggaran merupakan salah satu faktor yang akan menentukan bahwa pembangunan akan berhasil atau justeru jauh dari harapan. Pada dasarnya anggaran (dalam konteks ini adalah APBD) memiliki beberapa fungsi, yaitu:
 Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa APBD menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
 Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa APBD menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
 Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa APBD menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
 Fungsi alokasi mengandung arti bahwa APBD harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
 Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
 Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa APBD menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

Beberapa fungsi tersebut menempatkan anggaran sebagai faktor yang berkuasa menentukan percepatan pembangunan. Disisi lain, anggaran harus dialokasikan dan didistribusikan berdasarkan atas rasa keadilan dan kepatutan dengan meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Hal ini juga yang memberikan mandat kepada pemerintah agar memberikan kebijakan anggaran yang berbasis kepada pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Sehingga Anggaran berbasis hak dasar adalah perencanaan dan pengalokasian anggaran yang berorientasi kepada penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar warga negara dan bersifat mutlak harus dilakukan oleh pemerintah.

Mengembangkan pendekatan hak dasar dalam kerangka pembangunan dikarenakan bahwa doktrin negara kesejahteraan (welfare state), bahwa negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Dalam naskah legal negara kita yaitu pembukaan UUD ’45; UUD ’45 pasal 26 sampai dengan pasal 34; UU No 39 tahun 1999 serta dokumen legal maupun kontraktual lainnya negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab dalam mewujudkan kesejahteraan warga negaranya. Pertama, ditataran normatif, pembukaan UUD 1945 dan Pasal-pasal UUD 1945 mengamanatkannya secara eksplisit kewajiban dan peran negara. Kedua, prinsip-prinsip hak dalam perspektif hak asasi manusia, bahwa hak merupakan hal yang tak terpisahkan bahwa semua orang lahir dengan hak yang sama (hak asasi tidak bisa diambil maupun diserahkan sifatnya melekat), sifat hak yang universal [semua orang memiliki hak yang sama dimanapun dan sepanjang waktu. Ketiga, ditataran praktikal, mengenai relasi logis pendapatan dan belanja anggaran. Fakta bahwasanya penerimaan APBN Indonesia lebih dari 70 % adalah berasal dari pajak yang dipungut oleh negara berikut kekayaan alam yang dioptimalkan untuk memenuhi pundi-pundi keuangan negara. Keempat, adalah mengenai relasi negara dan masyarakat. Negara sebagai entitas politik memiliki segi kontraktual dengan rakyat sebagai salah satu baut yang mengunci keberadaan negara. Segi kontraktual inilah menjadi pembahasan inti adanya hak warga negara.
Anggaran Berbasis Hak Dasar menjadi signifikan ketika kita memaknai bahwa hakikat Pembangunan sebagai upaya perwujudan tanggungjawab pemerintah untuk memenuhi hak dasar warga negara. Hal ini jelas berbeda secara paradigmatik tentang pembangunan yang selama kurang lebih 65 tahun dimaknai sebagai tujuan (baca: hasil akhir). Padahal hakikat pembangunan adalah proses atau cara mencapai tujuan, bukan hasil akhir. Dimana ruang negosiasi antara warga negara dengan pemerintah menjadi mutlak didalamnya. Dan instrumen utama pembangunan salah satunya adalah Anggaran (APBN/D)
Mari sejenak kita melihat beberapa potret anggaran di Propinsi Kalimantan Barat. Untuk pemenuhan hak dasar warga bidang pendidikan dan kesehatan pada tahun 2010 dalam APBD 2010, alokasi pendidikan hanya 4,19% dari total belanja APBD dan alokasi kesehatan 2,44% dari total belanja APBD. Hal ini perlu menjadi sorotan dikarenakan masih tingginya angka buta huruf di kalimantan Barat. Dan anehnya dalam prioritas dan plafon anggaran tahun 2010 tidak satupun klausul yang berani mengungkap bahwa angka buta huruf dan angka putus sekolah di kalimantan barat masih tinggi. Disisi yang lain tingkat kesehatan masyarakat juga masih rendah ditandai dengan masih adanya kasus anak gizi buruk di beberapa daerah, kasus ibu hamil yang meninggal dunia karena kurangnya asupan gizi, banyaknya polindes serta sarana kesehatan yang tidak ”berpenghuni”, sanitasi yang tidak baik serta air bersih yang tidak memadai.
Sementara untuk Hak Ekosob, khususnya pada pada anggaran pendidikan (dinas pendidikan) dan kesehatan (dinas kesehatan) sebagai leading sector yang langsung berkaitan dengan Indeks Pembangunan Manusia maka catatan yang dapat ditarik pada antara lain adalah anggaran yang berkaitan dengan title HAM hanya sebesar 0,10 persen dari total anggaran pada APBD 2010, sebagian besar pos anggaran tersebut adalah pos anggaran dengan kegiatan yang sama dengan tingkat efektifitas program yang belum bisa dikategorikan berhasil. Pada APBD 2010 (diluar anggaran kabupaten dan APBN), prosentase total anggaran pada dinas kesehatan baru sekitar 2.44 % dari Total anggaran ( Artinya Daerah hanya mensubsidi Rp 7.840,- /orang / tahun). Di kalimantan Barat, angka kematian bayi (AKB) mencapai 470/10.000 kelahiran hidup. Sementara Angka kematian Balita (AKBA) tercatat 370/10.000 kelahiran hidup. Angka yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan target nasional. Di dalam APBD anggaran yang disediakan untuk menurunkan angka kematian bayi hanya berkisar 2,72%. Rasio ibu yang meninggal karena persalinan di kalimantan barat mencapai 420/10.000 kehamilan . Dari data yang ditemukan, cakupan gizi untuk menunjang kesehatan ibu sangat minim dibuktikan dengan anggaran yang dialokasikan hanya 2,70%. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan anggaran belum memberikan respon terhadap pemenuhan hak dasar warga. Untuk menekan proporsi jumlah penduduk yang menderita kelaparan (kekurangan gizi), APBD kalbar hanya menganggarkan sejumlah 1,64% dari total APBD atau senilai Rp. 4.158,-/orang/tahun. Angka ini jauh dari standar yang sudah ditetapkan oleh WHO yaitu Rp. 285.000,-/orang/tahun. Persentase balita yang mengalami kekurangan gizi juga menunjukkan angka yang riskan. Yaitu 32,71 persen, jauh dari rata-rata nasional 28,05% atau angka rata-rata setiap propinsi yaitu 27,9 %.
Jangankan bicara kebijakan anggaran, untuk menjamin bahwa masyarakat Kalimantan Barat mendapatkan infomasi atas pembangunan pun DPRD KalBar belum berhasil. Hal ini dibuktikan dengan belum terimplementasikannya UU No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik yang mewajibkan seluruh Propinsi untuk membentuk Komisi Infomasi sebagai media untuk menyelesaikan sengketa informasi sebelum masuk ke ranah hukum. Dari Potret kebijakan anggaran ini penulis menilai wajar jika masyarakat menggugat fungsi anggaran yang diperankan DPRD Kalimantan Barat.


* Direktur/Sekwil JARI Borneo Barat

PETISI BUAT POLITIK PENCITRAAN PEMERINTAHAN SBY-BUDIONO -6-

Mencitrakan Korupsi Yang semakin Marak

Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum menyiratkan pengakuan keberadaan organisasi mafia hukum dalam praktik sistem peradilan pidana selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia. Mafia hukum di Indonesia memiliki kekuatan destruktif terhadap ketahanan negara dan kewibawaan pemerintah, termasuk lembaga penegak hukumnya. Pertaruhan nasionalisme dan keteguhan dalam pemberantasan mafia hukum sedang dalam ujian di mata masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Namun, pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bukanlah solusi yang tepat untuk mencegah dan mengatasi keberadaan mafia hukum.Yang tepat seharusnya memperkuat keberadaan KPK serta koordinasi dan sinkronisasi antara KPK,Polri,dan Kejaksaan.

Status hukum Satgas dan lembaga penegak hukum yang ada tidak sepadan sehingga tampak keberadaan satgas berada “di luar” sistem peradilan pidana. Misi Presiden untuk memberantas mafia sulit dapat dijalankan dengan status hukum Satgas seperti itu. Selain itu, Instruksi Presiden tentang target pencapaian dan indikator keberhasilan pemberantasan korupsi oleh Polri dan kejaksaan kurang tepat. Karena target pencapaian dan indikator keberhasilan tersebut sejatinya merupakan salah satu indikator penyediaan anggaran operasional kepolisian dan kejaksaan. Namun, dalam praktik, parameter (tolok ukur) keberhasilan tersebut dijadikan alasan Polri dan kejaksaan untuk tujuan pencapaian kuantitas daripada pencapaian kualitas penanganan perkara korupsi.Tujuan pencapaian terakhir conditio sine qua non dari tujuan pencapaian kuantitas.
Saat ini, arah, tujuan dan misi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak jelas lagi. Hanya pertimbangan dua tujuan yang tidak seimbang juga karena pengembalian kerugian (keuangan) negara tidak berhasil secara signifikan dibandingkan dengan anggaran APBN yang telah dikeluarkan untuk ketiga lembaga penegak hukum tersebut. Di sisi lain,tujuan penghukuman untuk menjerakan pelaku juga tidak maksimal dicapai karena selain diskresi perlakuan yang diperbolehkan Undang-Undang Pemasyarakatan, juga diskresi menurut KUHAP sejak penyidikan sampai penuntutan. Ini berekses diskriminatif terutama bagi pelaku yang tidak memiliki kekuatan politik dan kekuatan uang.

Contoh, pemberian remisi dan bebas bersyarat; SP 3 dan SKPP. Perbedaan perlakuan tersebut telah berdampak negatif terhadap masalah perlindungan hukum dan kepastian hukum baik untuk kepentingan negara maupun untuk kepentingan mereka yang disebut “koruptor”. Wacana kebencian terhadap koruptor akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari norma-norma internasional yang diakui dalam pemberantasan korupsi seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 karena konvensi tersebut tidak menghubungkan pemberantasan korupsi dengan agama.Wacana tidak menyalatkan jenazah koruptor merupakan contoh daripada hal tersebut dan tidak pernah muncul di negara-negara Islam sekalipun.

Kekeliruan pandangan mengenai kepantasan hukuman mati bagi koruptor terletak bukan hanya karena hak hidup manusia adalah milik Allah SWT,melainkan bagaimana hak hidup seseorang dicabut di dalam praktik penegakan hukum yang kini terjadi secara koruptif. Dalam kondisi ini,perlu diingat pendapat para ahli hukum pidana negara maju, ”Lebih baik melepaskan 100 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”Kebenaran materiil dalam praktik koruptif penegakan hukum sangat tergantung dari pemilik kekuasaan belaka, bukan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya.

Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU. Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku.

Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa. Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja.
Disorientasi ketiga, kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum. Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.

Hal ini sebagaimana pernah dilontarkan oleh Widjojo Nitisastro yang mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang “pekerja intelek”,dia cuma “jual otaknya” dan tidak peduli untuk apa hasil otaknya itu dipakai”; sebaliknya, seorang “intelektual” mempunyai sikap jiwa yang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang pengkritik masyarakat... dia menjadi “hati nurani masyarakat” dan juru bicara kekuatan progresif; mau tidak mau dia dianggap “pengacau”dan menjengkelkan oleh kelas yang berkuasa yang mencoba mempertahankan yang ada. Pernyataan Widjojo cocok di era Reformasi saat ini.

Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi. Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional. Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya. Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).

Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, tidak mendahulukan tujuan balas dendam melainkan mendahulukan tujuan perkuatan pembangunan ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak terkandung maksud menciptakan golongan baru, “koruptor”, dalam masyarakat Indonesia.

Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalah pengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah wahana penebusan dosa. Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya, seharusnya dosa-dosanya terampuni .Tidak ada hak negara atau siapa pun untuk “memperpanjang” penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang telah dijatuhkan oleh putusan pengadilan.

Sebagai salah satu unsur dari masyarakat, JARI Indonesia Borneo Barat berkewajiban untuk melihat bahwa semakin seksamanya proses liberalisasi yang hari ini terjadi dan semakin kuatnya cengkraman kapitalisme internasional melalui lembaga-lembaga internasionalnya (IMF, WB, ADB, TNC’s/MNC’s dan negara-negara maju), serta semakin tumbuh suburnya agen-agen neolib di negeri ini, kami memandang perlu bahwa perjuangan atas pemenuhan hak dasar masyarakat dan kerakyataan haruslah didahulukan dan menjadi isu terpenting dalam mendorong peristiwa sosial menjadi peristiwa politik.
1. Pemerintah Republik Indonesia harus segera mengakhiri kerjasama internasionalnya baik yang bersifat multirateral dan bilateral yang selama ini merugikan Indonesia dan mendorong kerjasama internasional yang berdasarkan keadilan global.
2. Menegaskan bahwasanya skema perekonomian pemerintahan SBY-Bediono telah mendorong perputaran roda ekonomi dalam negeri dan bangunan industri nasional masih saja didominasi oleh modal-modal asing.
3. Dan masih kuatnya dominasi modal asing di Indonesia adalah sebagai akibat praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi (capital violence) yang telah diselenggarakan pemerintahan republik ini yang mana selalu didahului dengan lahirnya berbagai formulasi kebijakan negara yang inkonstitusional (judicial violence) dan peraturan perundang-undangan yang semakin liberal dan memiskinkan warga negaranya sendiri.
4. Karakter pemerintahan ini adalah karakter rezim neolib yang akan selalu melanggengkan semua agenda neolib yang akan semakin menyebabkan rakyat negeri ini terjerumus pada jurang kemiskinan.

Maka, JARI berpendapat Bahwa Pemerintahan ini layak untuk mendapatkan prediket Pemerintahan yang mementingkan pencitraan diri dari pada mensejahterakan masyarakatnya. JARI mengajukan petisi:
1. Renegosiasi atas semua kesepakatan internasional yang merugikan rakyat Indonesia.
2. Nasionalisasi asset yang dikuasai asing dan bangun Industri Nasional yang tangguh dan bebas dari intervensi asing.
3. Cabut Semua Kebijakan Privatisasi & Liberalisasi Modal Internasional (UUPM, UU Perkebunan, UU SDA, UU Kelistrikan, UU BHP)
4. Menciptakan pemenuhan hak atas Pendidikan dan kesehatan yang layak bagi masyarakat tanpa dibebani iuran apapun.
5. Menyediakan Lapangan Kerja untuk masyarakat,
6. Menurunkan Harga, serta Menolak penggusuran.
7. Legalisasi kedaulatan rakyat atas akses-akses sumber-sumber penghidupan dengan melakukan REFORMA AGRARIA yang konsisten.

PETISI BUAT POLITIK PENCITRAAN PEMERINTAHAN SBY-BUDIONO -5-

Mencitrakan Buruknya Kualitas Pelayanan kesehatan

Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) Indonesia masih tertinggi di Asia. Tahun 2002 kematian ibu melahirkan mencapai 307 per 100.000 kelahiran. Angka ini 65 kali kematian ibu di Singapura, 9,5 kali dari Malaysia. Bahkan 2,5 kali lipat dari indeks Filipina. Padahal, MMR-Indikator utama yang membedakan suatu negara digolongkan sebagai negara maju atau negara berkembang. Rata-rata MMR di dunia dari 100.000 kelahiran tingkat kematian ibu mencapai 400. Sedangkan, negara maju indek MMR-nya 20 kematian per 100.000 kalahiran. Rata-rata di negara berkembang 440 kematian ibu per 100.000 kelahiran.
Penyebab tingginya tingkat kematian ibu di Indonesiaantara lain, budaya patriaki yang masih kental. Kemudian, disebabkan kemiskinan, rendahnya pendidikan, kurangnyaakses terhadap informasi, tingginya peranan dukun dan terbatasnya layanan medis modern.
1. Rendahnya akses penduduk miskin pada layanan kesehatan yang berkualitas sehingga status kesehatan mereka tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lebih mampu.
2. Sulitnya mendapatkan/memanfaatkan fasilitas dan tenaga kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi perempuan miskin. Motivasi bidan tinggal di desa rendah karena kurangnya insentif bagi bidan khususnya untuk penempatan di daerah terpencil dan miskin. Jumlah bidan desa yang sangat kurang dibandingkan dengan jumlah penduduk.
3. Keterbatasan peraturan dan anggaran bagi kesehatan khususnya kesehatan reproduksi perempuan sehingga biaya melahirkan menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh perempuan miskin.
4. Fasilitas umum kesehatan masyarakat untuk melayani kesehatan reproduksi perempuan dalam banyak hal masih sangat terbatas. Faktor yang berpengaruh dalam permasalahan akses serta fasilitas kesehatan reproduksi ini adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah serta anggaran yang disediakan yang tidak merespon kebutuhan dasar masyarakat.

PETISI BUAT POLITIK PENCITRAAN PEMERINTAHAN SBY-BUDIONO -4-

Mencitrakan Buruknya kualitas Pendidikan

Krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 berdampak pada mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia dan juga pada mutu pendidikan di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari indikator secara makro, yakni pencapaian Human Development Index (HDI) dan indikator secara mikro, seperti misalnya kemampuan dalam hal membaca dan menulis.
Pada tahun 2005, HDI Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan peringkat tersebut semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya. HDI Indonesia tahun 1997 adalah 99, lalu tahun 2002 menjadi 102, kemudian tahun 2004 merosot kembali menjadi 111 (Human Development Report 2005, UNDP). Menurut Laporan Bank Dunia (Greaney, 1992) dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement), di Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Kondisi anak-anak Indonesia hanya mampu menguasai 30 persen dari materi bacaan dan mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini disebabkan karena mereka sangat terbiasa dalam menghapal serta mengerjakan soal pilihan ganda.
Sementara itu, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia (berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultant). Dalam hal daya saing, Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara di dunia (The World Economic Forum Swedia, 2000). Ini artinya: Indonesia hanya berpredikat sebagai follower, bukan sebagai leader.
Usaha pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan tercermin dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Pasal 53 (1) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjelaskan bahwa penyelenggara satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Privatisasi pendidikan di Indonesia mengindikasikan semakin melemahnya peran negara dalam melaksanakan sektor pelayanan publik. Privatisasi pendidikan di Indonesia tidak lepas dari adanya tekanan utang serta kebijakan dalam pembayaran utang. Hutang luar negeri Indonesia mencapai 35-40 persen dari anggaran APBN setiap tahunnya. Pada akhirnya, membuat dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen. Sebagai perbandingan, Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89 persen pada tahun 1992, sedangkan Indonesia hanya menyediakan 62,8 persen. Bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Sri Lanka.
Meski secara nasional angka putus sekolah mengalami perbaikan, di 19 provinsi angka putus sekolah di tingkat SMP masih cukup tinggi. Hal ini tercermin dari angka partisipasi kasar untuk tingkat SMP yang di bawah pencapaian nasional sekitar 98,11 persen. Angka partisipasi kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapa pun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia di jenjang pendidikan tertentu.
Pencapaian rata-rata angka partisipasi kasar di jenjang SMP/MTs secara nasional 2009/2010 mencapai 98,11 persen atau di atas target 95 persen. Artinya, masih ada sekitar 1,89 persen penduduk usia SMP yang tidak sekolah. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah siswa SMP sederajat sekitar 12 juta siswa. Sementara anak usia SMP yang tidak menikmati bangku pendidikan SMP, sebagian tersebar di 19 provinsi, termasuk Jawa Barat. Provinsi lainnya adalah Papua Barat yang APK-nya 79,59 persen, Nusa Tenggara Timur (79,91), Papua (89,74), Kalimantan Barat (82,11), Kalimantan Selatan (86,76), dan Kalimantan Tengah (89,45).

PETISI BUAT POLITIK PENCITRAAN PEMERINTAHAN SBY-BUDIONO -3-

Mencitrakan Wajah Kemiskinan

Krisis global selalu dijadikan sebagai kambing hitam bangkrutnya Indonesia. Kali ini juga. Tidak tercapainya target pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) lalu (2005-2009) dibilang karena guncangan dari luar (external shock) berupa krisis ekonomi global.
Pemerintah menyatakan, ada dua hal yang membuat penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan tahun lalu tidak tercapai. Pertama, adanya pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga 2 kali pada tahun 2005. Kedua, adanya krisis ekonomi global pada tahun 2008.
Dalam RPJMN 2005-2009, pemerintah menargetkan mampu menurunkan tingkat pengangguran dari 9,7% pada tahun 2004 menjadi 5,1% pada tahun 2009. Namun, pada realisasinya untuk tahun 2008, pemerintah hanya mampu menurunkan tingkat pengangguran hingga 8,4%. Hal serupa juga terjadi pada pencapaian penurunan tingkat kemiskinan. Dalam RPJMN 2005-2009, pemerintah menargetkan penurunan tingkat kemiskinan dari 16,6% menjadi 8,2%. Namun, yang terealisasi pada 2008 jauh dari target yaitu hanya bisa mencapai 15,4%. Pada RPJMN 2010-2014 ini, pemerintah menargetkan penurunan tingkat pengangguran hingga 5-6% dan tingkat kemiskinan sekitar 8-10% hingga akhir 2014. JARI meyakini dengan tipikal pemerintahan yang mengutamakan pencitraan diri ini, pengangguran dan kemiskinan akan semakin meningkat tiap tahunnya.

PETISI BUAT POLITIK PENCITRAAN PEMERINTAHAN SBY-BUDIONO -2-

Mencitrakan Peningkatan Kematian Buruh Migran Indonesia (BMI)

pemerintahan SBY-Boediono tidak mempunyai visi untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan BMI. Pemerintahan SBY dinilai telah mengabaikan perlindungan terhadap BMI dan memandang BMI lebih sebagai barang dagangan. ironis, pemerintahan yang antara lain dibiayai oleh 6 juta orang (pahlawan devisa) yang bekerja sebagi BMI ternyata pemerintah tidak memperhatikan BMI. Perampasan upah BMI di Hong Kong lewat praktek underpayment (upah di bawah standar), biaya agen yang tinggi dan praktek buruk agen penempatan dan majikan, justru didiamkan oleh pemerintahan SBY-Boediono.
Pemerintahan SBY Boediono bukanlah pemerintahan yang berdaulat. Pemerintahan SBY-Boedino tunduk kepada kepentingan asing, terutama Amerika Serikat (AS), yang menguasai seluruh lembaga keuangan dunia, dan sekaligus menjadi salah satu Negara donor (pemberi hutang) bagi Indonesia. Akibatnya pemerintahan Indonesia menjadi pemerintahan boneka AS, yang hanya memenuhi kebutuhan pihak asing pemberi hutang luar negeri.
Salah satu dampak dari situasi demikian kepada BMI adalah rencana amandemen UU no 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN). Dalam Inpres no 3 tahun 2006 tentang Perbaikan Iklim Investasi (rekomendasai dari pihak donor dan pemberi hutang kepada Indonesia), di bidang ketenagakerjaan, selain merevisi UU 13 tentang ketenagakerjaan juga adalah amandemen UU no 39/2004 PPTKILN guna mempermudah pendirian PJTKI. Rencana amandemen ini juga sebagai salah satu bentuk pengadaan buruh murah bagi industri-industri dan sektor jasa yang dimiliki oleh para pemilik modal asing di berbagai negara penempatan BMI.
Target pemerintahan SBY-JK, juga SBY- Budiono , yaitu 1 juta orang pengiriman rakyat Indonesia sebagai BMI, guna mencapai 125 Triliyun rupiah hanya dapat dicapai jika UU 39 itu dirubah, agar pendirian PJTKI dapat semakin mudah, semakin banyak PJTKI maka target pengiriman akan tercapai, tahun kemari gagal, dan pasti ini akan semakin digencarkan pada periode keduanya, SBY-Boediono itu pemerintahan yang menjual rakyatnya.
UU no 39/2004 tentang PPTKIL bukanlah dasar hukum yang dapat dipakai untuk melindungi BMI, semenjak semangat dan mayoritas pasal-pasalnya berbicara soal penempatan dan bukan perlindungan. Banyak praktek buruk yang dilakukan oleh PJTKI seperti pemerasan melalui biaya penempatan yang tinggi, diberikan dasar hukumnya oleh UU ini. UU 39/2004 harus diganti dengan UU perlindungan BMI, dan selama pemerintah tidak meratifikasi konvensi buruh migran maka tidak akan pernah ada UU perlindungan BMI, dan selama itupula masyarakat menjadi semakin mengerti mengapa pemerintah tidak menjadikan persolan BMI sebagai hal yang prioritas, yaitu karena pemerintahan SBY-Boediono memandang BMI bukan sebagai manusia namun sebagai barang dagangan.
Dalam catatan Migran CARE, 100 hari kinerja kabinet Indonesia bersatu jilid kedua (KIB II) ditutup dengan kematian 7 orang buruh migran Indonesia dalam waktu 1 hari (tanggal 27 Januari 2010) di berbagai negara. Kematian mereka menggenapi angka kematian buruh migran Indonesia sepanjang 100 hari kinerja KIB II (20 Oktober 2009 hingga 27 Januari 2010) yang mencapai 171 orang. Fakta ini menjadi gambaran nyata bahwa sektor perlindungan buruh migran belum menjadi agenda prioritas dalam program kerja pemerintahan SBY- Budiono. Semestinya evaluasi terhadap akar masalah buruh migran dan persoalan-persoalan yang menyertainya, seperti kekerasan, kematian, deportasi, trafficking, dan kasus-kasus lainnya menjadi acuan dalam menentukan program prioritas. Sayangnya itu tidak dilakukan, pemerintah justeru sibuk dalam program pemulangan buruh migran bermasalah dalam agenda 100 hari kinerja KIB II dan politik pencitraan. Belum terlihat upaya preventif untuk mencegah persoalan-persoalan yang menimpa buruh migran itu tidak terulang.

Gagalnya duet pemerintahan SBY-JK dalam melindungi buruh migran Indonesia semestinya menjadi refleksi dan pelajaran berharga bagi KIB II dalam menentukan skala prioritas program kerja. Sepanjang 5 tahun pemerintahan SBY-JK, kematian buruh migran berlangsung secara massif setiap tahunnya. Sehingga kembali terpilihnya SBY sebagai presiden RI untuk periode 2009-2014, tidak memberi banyak harapan bagi perlindungan TKI.
Jajak pendapat Migrant CARE (Oktober – November 2009) di Malaysia, Singapura, dan Hongkong yang melibatkan 2.323 responden dari buruh migran Indonesia menunjukkan bahwa 68% buruh migran tidak percaya pemerintahan SBY jilid II akan mampu memperbaiki nasib mereka. Sementara 28% responden lainnya menyatakan tidak yakin (ragu-ragu) SBY akan mampu melakukan perubahan. Dan hanya 4% yang percaya pemerintahan SBY jilid II akan mampu melakukan perbaikan nasib buruh migran Indonesia.

PETISI BUAT POLITIK PENCITRAAN PEMERINTAHAN SBY-BUDIONO -1-

PETISI BUAT POLITIK PENCITRAAN PEMERINTAHAN SBY-BUDIONO
Pasca terpilihnya SBY-Boediono dipemilu 2009, JARI menilai tidak banyak membawa perubahan yang cukup berarti dalam proses kesejahteraan rakyat. Gonjang-ganjing politik nasional yang kemudian dipaksa menjadi konsumsi rakyat Indonesia melalui media-media di indonesia ternyata telah membuat rakyat lupa akan karakter pemeritntahan yang sesungguhnya saat ini sedang berkuasa. Perdebatan awal pemilihan capres-cawapres yang kemudian memposisikan bahwa wakil presiden boediono sebagai agen neolib sekiranya tidak bisa kita tinggalkan begitu saja, tetapi terlepas dari itu semua bahwa karakter rezim sebagai bagian dari agen neolib sudah sangat jelas terlihat. Sekali lagi bahwa naiknya SBY-Boediono telah merepresentasikan keberhasilan reproduksi dan reorganisasi rezim orde baru selama reformasi yang dikhianati oleh elit politik oligarki.
Terlepas dari itu banyak sudah catatan hitam kepemimpinan rezim SBY pada periode lalu. Lihat saja pada saat akhir periode kepemimpinan rezim SBY pada tahun 2009 lalu, dengan tidak malu-malu pemerintahan SBY pada pertemuan Kopenhagen yang membahas tentang perubahan iklim, kembali mengajukan utang untuk perubahan iklim menunjukkan ketidak seriusan pemerintah mendorong perundingan iklim yang adil. Utang tersebut diperoleh dari Jepang dan Perancis. Masing-masing $ 500 juta dari Perancis (AFD) dan $ 300 Juta dari Jepang (JICA), serta tambahan $ 400 Juta utang tahun ini untuk perubahan iklim dari pemerintah Jepang. Kebijakan pemerintah tersebut jauh dari prinsip keadilan iklim dimana negara maju seharusnya memberikan kompensasi terhadap negara berkembang bukan lewat pengucuran utang, hal ini kemudian menyebabkan Indonesia kembali masuk kepada jebakan utang yang cukup besar.
Kemudian dengan alih-alih melakukan pembangunan ekonomi rakyat, pemerintahan rezim saat ini ternyata melakukan hal yang sebaliknya. Kebijakan negara yang selalu berkiblat kepada mekanisme pasar, semakin terlihat. Kesepakatan perdagangan FTA (Free Trade Agrement) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia, juga menjadi bumerang bagi proses industrialisasi negeri ini. China sebagai raksasa baru negara industri akan melakukan eskpor besar-besaran hasil industrinya kepada Negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hal ini dilakukan menyusul dibebaskan bea masuk bagi semua hasil industri China dan inilah bentuk kesepakatan perdagangan FTA (Free Trade Agrement) yang terlanjur diikuti oleh Indonesia. Maka dapat diperkirakan bahwa situasi perdagangan di Negara-negara Asia Tenggara bahkan di Asia Pasifik akan menjadi sangat liberal dan kompetitif.
Melihat hal ini semua kemudian menjadi pertanyaan besar kita bahwa apakah Negara Republik Indonesia mampu keluar dari cengkraman kapitalisme internasional, mengingat bahwa sampai dengan saat ini dapat kita katakan karakter pemerintahan SBY-Boediono tetap sebagai agen neolib yang baik dan selalu siap sedia melakukan sekian banyak agenda neolib di republik ini - pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana diperintahkan AS, Inggris, Jepang, IMF, Bank Dunia, dan ADB. Catatan bahwa masih manutnya rezim Negara ini terhadap agenda-agenda neolib yaitu dengan semakin massifnya kekerasan Negara melalui kebijakan pemerintah baik itu berupa UU atau peraruturan pemerintah lainnya (baca: UU PM, UU Pengelolahan Pesisir, UU SDM dan lainnya).
Di sisi lain dalam situasi pemerintahan bentukan demokrasi proseduralisme, negosiasi politik ekonomi terus dilakukan, parlemen merupakan ruang negosiasi paling telanjang antara partai politik (pendukung maupun penentang semu) dengan pemerintahan dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan politik. Seringkali pemicunya adalah gerakan massa yang muncul akibat kebijakan (regulasi) Pemerintah yang mengikuti agenda-agenda neo kolonialisme-imperialisme yang menghantam penghidupan rakyat.
Masalah yang kemudian berakibat fatal adalah fenomena gerakan rakyat pasca reformasi menjadi masalah tersendiri. Semakin terfragmentasi gerakan-gerakan rakyat serta terjebak pada isu sektoralisme dan banyak juga gerakan-gerakan social lainnya terjebak pada isu konflik elit, sebenarnya semakin menjauhkan gerakan tersebut dari system social masyarakat sesungguhnya. Ini kemudian yang menjadi kritik besar kita terhadap fenomena politik nasional dan kritik kita terhadap karakter rezim saat ini.

Kesepahaman Bersama KKIP-KalBar

KESEPAHAMAN BERSAMA

Berdasarkan hasil pertemuan beberapa lembaga pada tanggal 13 oktober 2010 yang bersepakat membentuk Koalisi untuk Keterbukaan Informasi Publik (KKIP) Kalimantan Barat dalam upaya mengawal dan mengawasi proses penyeleksian anggota Komisi Informasi Publik (KKIP) Kalimantan Barat dan Hak atas Informasi Masyarakat. Dengan memperhatikan proses yang selama ini dilaksanakan dalam penyeleksian Anggota KOmisi Informasi Daerah Kalimantan Barat sebagai mandat dari UU no. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik memunculkan beberapa catatan yang mesti dipertimbangkan oleh Panitia Seleksi. Karena semangat yang mesti diusung dalam pembentukan Komisi Informasi Publik ini selain sebagai implementasi terhadap Undang Undang adalah menjamin terpenuhinya hak atas Informasi masyarakat. Sehingga Masyarakat menjadi subjek yang tidak semestinya direduksi dalam setiap tahapan proses penyeleksian anggota komisi informasi daerah Kalimantan Barat.

Komisi Informasi Daerah menjadi faktor kunci dalam proses implementasi di Undang Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik di tingkat lokal. Anggota Komisi Informasi harus berkualitas, profesional dan independen. Untuk itu, dalam rekruitmen anggota Komisi Informasi harus transparan, jelas dan bisa mewakili masyarakat.

Proses seleksi anggota Komisi Informasi Daerah yang tengah berlangsung di tingkat panitia seleksi harus dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat karena sepenuhnya proses seleksi calon anggota Komisi daerah tersebut menyerap anggaran dari APBD Propinsi Kalimantan Barat. KKIP KALBAR berpendapat bahwa proses seleksi calon anggota Komisi Informasi Daerah Kalimantan Barat tidak jelas, mana calon anggota yang mewakili masyarakat mana anggota yang mewakili pemerintah sehingga terlihat misterius. Hal Ini berbahaya terhadap akses informasi bagi masyarakat kedepannya. Bahayanya adalah jika disusupi orang-orang yang hanya mencari kerja dan orang yang ditempatkan birokrasi karena punya kepentingan untuk mengamankan informasi yang semestinya milik publik.

Untuk itu, tim seleksi harus mampu mendorong pemerintah untuk mengumumkan siapa saja anggota yang merupakan wakil pemerintah dan mana wakil dari unsur masyarakat. Komisi Informasi tidak boleh disusupi orang yang berpikir konservatif. Sebaiknya, tim seleksi juga harus membuka diri dengan tidak hanya memberikan nama tapi juga data diri yang lebih jelas kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tahu siapa mereka, apa latar belakangnya, dan bagaimana track record dari calon anggota komisi informasi daerah tersebut. Hal ini juga memberikan implikasi positif terhadap anggota panitia seleksi untuk dapat merekomendasikan nama-nama yang obyektif dan bebas dari intervensi politik pihak manapun.

Atas dasar tersebut maka kami dari Koalisi Untuk Keterbukaan Informasi Publik (KKIP-KALBAR) meminta kepada panitia seleksi Anggota Komisi Informasi Daerah Kalimantan Barat:

1. Mempublikasikan Curiculum Vitae calon anggota Komisi Informasi Publik (KIP) Kalimantan Barat kepada masyarakat luas.
2. Mempublikasikan Score/Nilai/Penilaian hasil test para calon anggota komisi Informasi Daerah pada setiap tahapan proses seleksi (Test tertulis, Test membuat karya tulis, Psikotest dan Test Wawancara) kepada masyarakat luas.
3. Melakukan Test Wawancara para calon anggota KOmisi Infomasi daerah Kalimantan Barat secara terbuka yang dapat diakses, dihadiri dan disaksikan secara terbuka dan langsung oleh masyarakat luas yang akan dilaksanakan pada tanggal 28 oktober 2010.
Demikan Kesepahaman Bersama ini untuk menjamin kemurnian seleksi Anggota KOmisi Informasi daerah Kalimantan Barat yang transparan, partisipatif dan akuntable.

17 Agustus 2010

KNPI dan Pramuka Kota Pontianak seharusnya memberikan contoh!

>> mengenai penggunaan dana hibah kota pontianak 2009

Berdasarkan permendagri No 59 tahun 2007 tentang perubahan atas permendagri no 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah pada pasal 43 ayat 4 menyatakan bahwa hibah kepada badan/lembaga/organisasi swasta dan atau kelompok masyarakat perorangan bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dalam penyelenggaraan pembangunan daerah. Dalam kajian secara yuridis semua unsur badan/organisasi/lembaga diberikan bantuan pembinaan oleh pemerintah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Salah satu kerangka analisis yang dapat membuktikan apakah kinerja badan/organisasi semi pemerintah (penerima anggaran dari APBN/APBD) bekerja untuk membangun daerah adalah melalui instrument anggaran.

Penilaian terhadap pengguna dana hibah bisa di contoh dari hasil analisis terhadap KNPI dan Pramuka yang sejatinya merupakan organisasi kepemudaan yang seharusnya memberikan contoh/pelopor penggunaan anggaran yang professional dari pemerintah namun harapan tersebut tidak sesuai dengan laporan realisasi anggaran pengguna dana Hibah 2009.

Dari berbagai dokumen ini ditemukan bahwa selama tahun 2009 KNPI mendapat bantuan hibah dari pemerintah kota Pontianak sebesar Rp. 100 jt sedangkan Pramuka cab. Kota Pontianak sebesar Rp. 350 jt. KNPI hanya bisa mempertanggungjawabkan Rp. 38,11 jt dan Pramuka Rp. 50,88 jt. Selebihnya tidak dipertanggungjawabkan yaitu KNPI sebesar Rp. 61,88 jt dan Pramuka Rp. 299,11 jt.

Penggunaan dari anggaran yang dapat dipertanggungjawabkan tersebut pun dinilai belum bersentuhan dengan semangat memajukan pembangunan daerah karena masih bersifat pembiayaan kelembagaan dan konsumsi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan table dibawah ini:
Rincian per item rekap yang dipertanggungjawabkan KNPI:
No. Item Jumlah Persentase terhadap anggaran
yang dipertanggungjawabkan
1 Bantuan kepada OKP Rp 3,400,000 8.92%
2 sample surat Suara Rp 500,000 1.31%
3 kartu nama Rp 500,000 1.31%
4 Pembuatan Jas dan Topi KNPI Rp 13,050,000 34.24%
5 Pembuatan Profil Rp 750,000 1.97%
6 Operasional KNPI Rp 22,100 0.06%
7 service room hotel Rp 800,000 2.10%
8 Pembuatan papan bunga Rp 300,000 0.79%
9 Konsumsi Rp 18,791,265 49.30%
Total Rp 38,113,365


Rincian per item rekap yang dipertanggungjawabkan
Pramuka cab. Pontianak:

No. Item Jumlah Persentase terhadap anggaran
yang dipertanggungjawabkan
1 Pembayaran Honor ketua dan staff+THR Rp 39,000,000 76.64%
2 Biaya keperluan rutin Rp 7,200,000 14.15%
3 Rek telp Rp 1,604,438 3.15%
4 Rek Koran Rp 780,000 1.53%
5 pembuatan papan duka cita Rp 200,000 0.39%
6 pembuatan baliho hari pandu sedunia Rp 1,000,000 1.97%
8 Konsumsi Rp 1,100,000 2.16%
Total Rp 50,884,438


Dari hasil rekapitulasi ini menunjukkan bahwa KNPI 83% anggaran dihabiskan untuk pembiayaan konsumsi dan pembuatan jas/topi sedangkan Pramuka 90% dihabiskan untuk biaya honor ketua harian/staff dan keperluan rutin. Hal ini menunjukkan bahwa logika birokrat telah melekat yaitu serapan anggaran hanya untuk pembiayaan aparatur dan rutin bahkan untuk urusan yang tidak berkenaan langsung dengan masyarakat.

Dalam aspek sebagai lembaga Publik (penerima anggaran melalui APBN/APBD) KNPI dan Pramuka seharusnya menerima kritik ini dan sadar diri bahwa sejatinya anggaran yang digunakan tersebut bersumber dari pajak yang ditarik dari masyarakat karena 80% APBN/APBD merupakan berasal dari Pajak. Hal ini memberikan beban bahwa setiap penggunaan anggaran tersebut berimplikasi terhadap pelayanan kepada masyarakat yang besar bukan melayani diri sendiri. Sebaiknya KNPI dan Pramuka beserta pengguna APBN/APBD lebih transparan dalam pengelolaan keuangan.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan kondisi daerah Kota Pontianak dimana angka kemiskinan kota Pontianak yaitu sebesar 6.77% sedangkan kasus gizi buruk ditemukan hingga 29 kasus. Bayangkan saja jika anggaran yang digunakan tidak efektif tersebut digunakan untuk penanggulangan kemiskinan dan gizi buruk tersebut, tentu saja paling tidak angka negative tersebut bisa di tekan jika digunakan secara efektif.

Catatan diatas memberikan informasi bahwa pemerintah kota Pontianak harus membuat sebuah system yang efektif untuk memberikan dana hibah atau bantuan social kepada pihak ketiga karena bantuan tersebut harus diberikan dalam rangka membantu pencapaian tujuan pembangunan bukan untuk kepentingan pribadi.

Berikut adalah daftar organisasi yang belum mempertanggungjawabkan penggunaan sisa bantuan hibah

Nama Organisasi Besarnya bantuan Penggunaan Sisa
UTDC PMI Kota Pontianak 375.000.000 307.905.000 67.095.000
KNPI Kota Pontianak 100.000.000 38.113.365 61.886.635
PMI cabang Pontianak 60.000.000 45.143.000 14.857.000
DPC GOPTKI Kota Pontianak 50.000.000 11.629.030 38.370.970
TMMD Kodim 133.322.000 120.522.000 12.800.000
Gerakan Pramuka Kwartir
Cabang Kota Pontianak 350.000.000 36.687.850 313.312.150
IMI KOrwil Kota Pontianak 1.500.000.000 778.400.300 721.559.700

12 Agustus 2010

JARI Prediksikan Kerugian Daerah Kota Pontianak capai 35,83 M (2003-2009)

Berdasarkan kajian dan analisis sementara terhadap Laporan hasil pemantauan BPK terhadap penyelesaian kerugian Negara/daerah pada pemerintah kota Pontianak No. 05/HP/XIX.PNK/05/2010 dan beberapa temuan indikasi kasus korupsi versi JARI, kerugian daerah Kota Pontianak mencapai Angka Rp. 35,83 M. Jumlah tersebut sekitar 40% dari total PAD Kota Pontianak tahun 2010 berjumlah Rp. 89,6 M.

Angka tersebut didapat dari beberapa kajian terhadap kasus kerugian daerah yang terjadi pada periode tahun 2005-2009 yang belum dikembalikan pada kas daerah, indikasi kasus rekayasa dokumen keuangan fiktif pada program pengamanan pemilu 2003 dan tahun baru 2004 serta indikasi kerugian terhadap kasus Pasar Dahlia senilai Rp. 8 M. Secara terperinci kerugian daerah tersebut adalah:

No. Object Audit Temuan Kerugian/Sisa kerugian
1. APBD 2003 Pemberian Bantuan Pengamanan Pemilu Dan Tahun Baru Fiktif Rp. 500.000.000
2. LKD Tahun anggaran 2004 Biaya optimalisasi kinerja dewan terhadap OTDA dengan pemberian bantuan kepada dewan sesuai dengan SK walikota No. 86 tahun 2004 dibayarkan kepada 40 orang anggota dewan tahap I @ 25 jt (PPn 15%) dan tahap II @15 jt (PPn 10%) Rp. 381.810.000
Belanja DPRD sebesar Rp. 4.857.405.000 belum dipertanggungjawabkan dan terdapat pengeluaran biaya tunjangan tambahan penghasilan bulan ke 13 sebesar RP. 100.000.000 yang tidak sesuai ketentuan Rp. 2.040.761.401
3. LKD tahun anggaran 2005 Pengadaan alat laboratorium bahasa dan komputer bantuan block grand dinas pendidikan yang belum dipertanggungjawabkan oleh sekolah penerima bantuan kepada pemkot serta pengadaan LCD projector dan meja standar computer Rp. 348.949.000
4. LKD tahun anggaran 2007 Belanja modal peralatan dan mesin pada dinas pendidikan kota pontianak tidak wajar dan merugikan daerah Rp. 18.413.000
5. LKD tahun anggaran 2008 Sisa anggaran 2007 pada dinas pendidikan belum di setor ke keuangan daerah Rp. 179.211.800
Pembayaran belanja makan dan minum pimpinan DPRD tidak sesuai dengan ketentuan Rp. 332.917.500
Kelebihan pembayaran biaya perjalanan dinas pada sekretariat daerah kota pontianak Rp. 93.450.000
Kegiatan pemberian beasiswa bakat dan prestasi bagi siswa kurang mampu pada dinas pendidikan kota pontianak tidak dapat dipertanggungjawabkan penerimanya Rp. 192.600.000
Pengadaaan buldozer pada dinas kebersihan dan pertamanan dibatalkan sehingga merugikan keuangan daerah Rp. 315.822.676
6. Infrastruktur Jalan dan jembatan kota pontianak 2008 & 2009 pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai kontrak sehingga merugikan keuangan daerah Rp. 145.387.417
7. Pelaksanaan kegiatan pengembangan PLS tahun 2006 Kota pontianak pelaksanaan kegiatan pengembangan PLS tahun 2006 kota pontianak terdapat kelebihan pencairan anggaran Rp. 9.585.000
8. Penyelenggaran pemerintahan daerah penerimaan tunjangan komunikasi intensif pimpinan dan anggota DPRD tahun 2006 dan penerimaan Belanja penunjang operasional pimpinan DPRD kota pontianak tahun 2006 dan januari 2007 belum ada pengembalian Rp. 2.601.102.000
Mark Up atas pengadaan komputer dan laptop Rp. 3.000.000
kelebihan pembayaran biaya perjalanan dinas dalam daerah /reses Rp. 68.800.000
9. Pajak 2007 Penahanan uang pajak reklame dan pemalsuan cap dinas pendapatan daerah Rp. 78.028.767
10. Bantuan Sosial 2006, 2007 dan 2008 pertanggungjawaban penggunaan belanja bantuan sosial tahun anggaran 2006, 2007 dan 2008 pada pemerintah Kota Pontianak Rp. 20.526.900.975
11. Pasar Dahlia Indikasi korupsi Pasar dahlia yang melibatkan pejabat dan mantan pejabat Kota Pontianak Rp. 8.000.000.000
TOTAL Rp. 35.836.739.536
(Rp. 35,83 M)

JARI masih meragukan audit BPK atas APBD 2003 dan Pasar Dahlia dikarenakan beberapa temuan yang mengindikasikan terjadinya rekayasa keuangan Fiktif (dibuktikan dengan dokumen keuangan fiktif dan rekaman percakapan) sehingga masih dipertanyakan keabsahan hasil audit jika tidak mau dikatakan bahwa BPK ditipu oleh dokumen keuangan fiktif pemerintah kota Pontianak.
Perhitungan kerugian daerah ini mengindikasikan bahwa pengelolaan keuangan yang baik sepenuhnya belum dilaksanakan oleh pemerintah kota Pontianak dan belum menerapkan asas transparansi dan akuntabilitas.
Mengenai pernyataan Hartono Azas dan Sutarmiji yang mengatakan bahwa LHP BPK tahun 2009 baru bisa dipublikasikan setelah dilakukan perbaikan adalah pernyataan tanpa dasar. Pertama, Dalam aturan ditentukan bahwa selambat-lambatnya LHP diperbaiki 3 bulan setelah di laporan diberikan kepada pemerintah kota Pontianak bukan publikasi LHP yang selambat-nya diberikan setelah 3 bulan. Kedua, Hasil perbaikan atas audit tidak akan merubah hasil audit yang sebenarnya. Karena jika ditemukan indikasi menguntungkan pribadi dan kelompok maka pengembalian tidak akan menghilangkan pidana yang dilakukan. Berdasarkan pada UU KIP no 14 tahun 2008, JARI berencana memperkarakan Hartono Azas (ketua DPRD Kota Pontianak) kepada komisi Informasi Pusat karena tidak menanggapi permintaan informasi public LHP BPK 2009 Kota Pontianak oleh JARI yang sudah diberikan sebanyak 2 kali. Sejatinya dokumen tersebut tidak termasuk dokumen yang dirahasiakan.

Ketua DPRD Kota Pontianak dan BPK Langgar UU KIP

- Perihal Ketertutupan LHP audit BPK terhadap APBD 2009 Kota Pontianak

- Pandangan Akhir Fraksi Atas LKPJ kurang berbobot

Menanggapi pemberitaan Pontianak Post (6/8) tentang tudingan yang diberikan oleh beberapa anggota dewan kepada Sdr. Hartono azas selaku ketua DPRD Kota Pontianak yang menahan informasi perihal LHP APBD 2009 Kota Pontianak, JARI menilai Hartono Azas telah melanggar ketentuan yang berada dalam UU Keterbukaan Informasi Publik No 14. Tahun 2008 dan Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang juknis Standar Layanan Informasi.

Sejatinya, JARI menemukan indikasi penyelewengan keuangan pada tahun anggaran 2009 yang melibatkan beberapa pejabat di lingkungan pemerintah Kota Pontianak dan oknum BPK terindikasi terlibat. Untuk menelusuri temuan tersebut, JARI memerlukan data perihal hasil audit BPK tahun 2009 kota Pontianak. Setelah menemui humas dari BPK RI perwakilan Kalimantan Barat, JARI dianjurkan untuk meminta langsung ke DPRD karena sudah diberikan kepada ketua DPRD Kota Pontianak dalam bentuk soft copy dan hard copy. Kedatangan JARI ke BPK dilakukan karena audit tersebut yang seharusnya di upload ke website resmi BPK (www.BPK.go.id) namun tidak ada 1 pun LHP Propinsi, kabupaten dan kota di Kalimantan barat yang di informasikan terbuka di website tersebut. BPK beralasan bahwa untuk memberikan informasi LHP harus sesuai persetujuan Pusat. Padahal JARI berpendapat bahwa BPK wajib menginformasikan seluruh kebijakan hasil audit pemerintahan kepda masyarakat umum tanpa alasan apa pun.

Untuk menindaklanjuti informasi tersebut, JARI langsung menemui Ketua DPRD Kota Pontianak Sdr. Hartono azas, untuk menanyakan perihal hasil audit BPK 2009 tepatnya pada saat setelah rapat paripurna penyerahan LKPJ walikota Pontianak di gedung DPRD Kota Pontianak. Hartono azas, menyarankan agar menggunakan surat dalam permintaan informasi. Akhirnya JARI membuat surat permintaan data LHP BPK 2009 kota Pontianak no 024/B/Sekwil/2010. Namun tidak ada tanggapan. Saat ini JARI sudah memasukan lagi Surat No. 030/B/Sekwil/2010 kepada ketua DPRD Kota Pontianak karena tidak ditanggapinya surat pertama.

Atas proses yang seperti ini, jika dokumen LHP tersebut masih ditahan JARI berinisiatif melaporkan Ketua DPRD Kota Pontianak dan Ketua BPK RI perwakilan Kalimantan Barat ke Komisi Informasi Pusat sebagai salah satu bentuk penghalangan memperoleh informasi sesuai dengan sanksi yang ditetapkan pada pasal 52 UU KIP yang berbunyi Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UndangUndang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Hal ini agar menjadi peringatan kepada pemerintah daerah untuk jangan sekali-kali menutup informasi publik.

jika setiap Fraksi di DPRD belum mendapatkan LHP 2009 tersebut maka ketajaman analisis dan obyektifitas Pandangan AKhir Fraksi atas LKPJ Walikota dipertanyakan bobotnya. Karena LHP seharusnya dijadikan sebagai bahan utama untuk menilai LKPJ, jika tidak hanya lip service, saran dan ceremonial belaka.

2 Juli 2010

Publikasikan Pemakaian Anggaran per SKPD

JARI Tantang pemkot publikasikan pemakaian anggaran per satuan kerja
-Belajar dari problem KPU Kota Pontianak-


Tidak ada salahnya jika semua pihak mengambil hikmah dari usulan anggaran KPU kota Pontianak yang di duga mark up oleh pemerintah Kota Pontianak. Dalam hal tersebut Pemerintah kota Pontianak menuding KPU Kota Pontianak melakukan mark up dalam beberapa mata anggaran seperti yang di informasikan di media. Sedangkan di lain pihak, KPU Kota Pontianak memberi penjelasan bahwa besaran dalam beberapa mata anggaran tersebut mengikuti standar pemerintah kota Pontianak walaupun diakhiri dengan penarikan usulan anggaran KPU kepada pemerintah kotaPontianak. Bahasa kasarnya adalah KPU Kota Pontianak menentukan besarnya anggaran tersebut karena itu juga yang dilakukan oleh pemerintah Kota Pontianak. Sebagai contoh pembelian 1 unit komputer Rp. 14 juta rupiah dalam usulan anggaran KPU Kota Pontianak, besaran tersebut juga terjadi di penganggaran pemerintahan.

Jadi akan menjadi persoalan jika Pemerintah Kota Pontianak menuding Usulan Anggaran KPU Kota Pontianak beberapa waktu yang lalu terindikasi mark up sedangkan instansi-instansi pemerintah Kota Pontianak juga melakukan hal yang sama. Dalam katalain, pemerintah kota Pontianak sudah memberi contoh penggunaaan anggaran yang tidak baik. Jika mau bukti lihat saja dalam DPA masing-masing dinas di lingkungan instansi pemerintah banyak jugaterjadi mark up anggaran, penganggaran yang ganda dan yang tidak penting, dll. Itupun jika pemerintah kota pontianak sudah transparan untuk membuka akses terhadap dokumen tersebut. Dalam pengalaman selama ini, masyarakat sangat sulit untuk mendapatkan dokumen-dokumen tersebut.

Jika dalam beberapa waktu yang lalu pemerintah kota Pontianak dengan semangatnya “memerangi mark up”usulan anggaran KPU kota Pontianak, sekarang JARI meminta implementasi pemerintah kota Pontianak untuk memerangi mark up instansi yang ada di lingkungan pemerintahan kota Pontianak. Hal tersebut bisa dimulai dengan mempublikasikan daftar pemakaian anggaran (DPA) persatuan kerja di lingkungan terkait. Dari sana akan terlihat apakah pemerintah kota Pontianak sungguh-sungguh memerangi mark up atau hanya sekedar memperbaiki citra. Untuk kedepannya, semoga saja pemkot berserta instansi yang bertugas ada yang menarik kembali usulan anggarannya sehingga tidak seperti menelan ludah sendiri.

Dugaan mark up KPU Kota Pontianak_ tulisan lama.....

Dugaan mark up anggaran KPU Kota Pontianak
JARI Bornoe Barat dorong KPU Kota Pontianak tandatangani Fakta integritas bersama PPK dan PPS


Indikasi dugaan mark up usulan anggaran oleh KPU kota Pontianak menjadi substansi dalam pemberitaan di beberapa media kemarin. Terlepas berawal dari masalah personal, namun problem perencanaan anggaran dan pembangunan di kota ini memang perlu di perbaiki. Karena selama ini masalah yang muncul selalu berawal dari proses perencanaan yang tidak baik.

Terkait problem personal, permintaan maaf anggota KPU Pontianak tidak menghilangkan substansi mendasar yang sebenarnya bagi semua pemerhati tata kelola pemerintahan yang baik dan segenap NGO serta mahasiswa yaitu dalam hal dugaan mark up anggaran yang diusulkan oleh KPU Kota Pontianak. Pada dasarnya hal ini memang belum termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Namun, jika sudah diputuskan dan di implementasikan maka akan masuk dalam kategori tersebut. Jadi bisa dikatakan hal ini adalah pra korupsi dari proses perjalanan panjang korupsi itu terjadi, kesempatan dan kekuasaan saja yang akan menentukan apakah korupsi itu terjadi atau tidak.
Dalam konteks ini, JARI mengingatkan KPU Kota Pontianak selaku bagian dari aparatur negara untuk bertindak “wajar” dan tidak main-main serta tidak melakukan pemborosan dalam penggunaaan anggaran Negara. Hal yang sama juga di tujukan pada segenap pengguna anggaran negara terutama aparatur Negara/daerah yang berada di pemerintahan. Karena usulan anggaran KPU Kota masih akan dibahas, JARI mengharapkan kepada DPRD kota untuk lebih teliti dalam pembahasan usulan anggaran tersebut dengan pengkajian yang ilmiah dan logis serta memperhatikan hal-hal yang bersifat mendasar. Ungkapan walikota Pontianak untuk tidak menurunkan anggaran juga bukan merupakan keputusan yang bijaksana, walau bagaimana pun KPU juga merupakan unsur dalam pemerintahan sebagai badan pelaksana. Jika terjadi temuan tindak pindana korupsi, JARI tidak segan untuk melakukan upaya hukum.

Sebagai langkah prefentif, JARI memandang perlu untuk ditandatanganinya FAKTA INTEGRITAS anggota KPU dengan PPK dan PPS yang difasilitasi oleh pemerintah Kota Pontianak. Fakta Integritas merupakan komitmen untuk mecegah korupsi sekaligus memiliki tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Terutama dalam hal pengadaan barang dan jasa. Selain itu fakta integritas bemanfaat untuk meningkatkan transparansi dan profesionalisme sehingga kebocoran penggunaan anggaran, suap dan sebagainya bisa diminimalkan.

Penandatanganan fakta integritas di definisikan sebagai tekad dan kesadaran moral pejabat dalam mewujudkan reformasi di lingkungan birokrasi. Fakta integritas ini pula yang menjadi jaminan objektifitas dan kualitas peningkatan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sebagai peringatan/janji kepada diri sendiri terhadap komitmen untuk melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai ketentuan yang berlaku.

Selain mendorong kualitas, efektifitas serta efisiensi kerja, fakta integritas bertujuan mewujudkan good governance di lingkungan pemerintahan, masyarakat dan dunia usaha, disamping memberikan manfaat mencegah terjadinya penyimpangan. Secara umum Fakta integritas yang dimaksud berisi komitmen untuk tidak melakukan praktek KKN dan perbuatan tercela. Selanjutnya tidak meminta atau menerima pemberian secara tidak maupun langsung berupa suap, hadiah atau bentuk lain yang tak sesuai dengan ketentuan.

Dengan demikian, aparatur daerah dapat bersikap transparan, jujur, objektif, akuntabel untuk menghindari pertentangan kepentingan dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini, masyarakat berhak memberikan laporan kepada pejabat berwenang atas setiap usaha yang melanggar komitmen dalam fakta integritas yang telah disepakati bersama.

29 Juni 2010

Dana Aspirasi DPRD KalBar Mencurigakan

Equator
Dana Aspirasi DPRD Kalbar Mencurigakan

PONTIANAK. Ribut alokasi dana aspirasi tidak hanya melanda DPR-RI. Diam-diam, 55 legislator di DPRD Kalbar juga dijatah dana aspirasi, masing-masing Rp2 miliar, totalnya mencapai Rp110 miliar.

“Pengalokasian dana itu merupakan salah satu bentuk kebijakan yang akan tumpang tindih dengan kebijakan pembangunan daerah,” tegas Indra Aminullah, Manager Advokasi Jaringan Independent Masyarakat Sipil Untuk Transparansi dan Akuntabilitas Pembangunan Indonesia (JARI) Orwil Borneo Barat kepada Equator, Minggu (27/6).

Tumpang tindih yang dimaksud Indra, karena aspirasi yang akan diperjuangkan melalui dana alokasi dewan, bisa saja sudah ada dalam program pemerintah. Kondisi ini justru akan memunculkan benturan dalam pelaksanaan pembangunan.

“Kebijakan ini bisa saja dimanfaatkan oknum-oknum dewan sebagai jalan melegalkan perampokan uang rakyat. Sebab pada prinsipnya, sama saja dengan mengambil uang APBD dengan kebijakan yang sengaja dibuat, seperti kasus Yayasan Bestari,” ujar Indra membandingkan.

Seperti diberitakan Equator, jatah Rp2 miliar dana aspirasi tersebut digunakan untuk alokasi kegiatan pembangunan di Daerah Pemilihan (Dapil) masing-masing dewan. Dana ini tidak secara otomatis langsung diberikan kepada anggota dewan bersangkutan, melainkan direalisasikan dalam bentuk program di sejumlah SKPD.

Kalangan dewan beralasan, penganggaran dana aspirasi dilakukan sebagai upaya untuk pemerataan pembangunan di 14 kabupaten/kota se-Kalbar. Namun alasan ini mendapat bantahan JARI.

“Bukan pemerataan yang dihasilkan, tapi sentralisasi pembangunan. Sebaran pembangunan akan bertumpuk pada daerah dengan jumlah keterwakilan paling banyak,” jelas Indra. Kebijakan pengalokasian dana aspirasi ini juga bisa memicu ketimpangan fiskal. “Padahal untuk kabupaten/kota sudah ada dana DAK, DAU, dana bagi hasil, maupun dana shearing dari provinsi,” jelas Indra.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Prof DR Tangdililing menilai, kebijakan penganggaran dana aspirasi anggota DPRD Kalbar janggal. “Kalau memang benar ini aspirasi dari rakyat, harusnya pemilihan proyek yang dialokasikan melalui dana tersebut datang dari konstituen, bukan anggota dewan,” ujar Tangdililing.

Rakyat, kata Tangdililing, tentu saja merasa senang jika aspirasinya diperjuangkan. Tapi masalahnya, apakah aspirasi dewan itu memang benar-benar datang dari rakyat. “Bisa jadi ini hanya sinyalemen usaha akal-akalan dewan saja untuk menambah penghasilannya,” ujarnya.

Wakil Ketua DPRD Kalbar, Drs Nicodemus R Toun MM membantah jika dana itu adalah dana aspirasi. “Ini dana program aspirasi yang diselaraskan dengan aspirasi yang berkembang saat reses. Penggunaannya harus disesuaikan dengan RPJMD,” kata Nico kepada Equator.

Meski masih menyinggung kata aspirasi, Nico enggan dana itu disebutkan sebagai dana aspirasi. Namun anehnya, dia juga tidak menyebutkan apa nama yang pantas untuk penganggaran dana Rp2 miliar tersebut.

Menurut Nico, penganggaran dana Rp2 miliar itu dilakukan dalam rangka merespons kebutuhan-kebutuhan konstituen atau masyarakat secara mendesak. Pengangarannya sudah dibicarakan secara formal melalui pembahasan APBD.

“Bedanya, kalau pembahasan APBD secara keseluruhan melalui Musrembang. Tapi yang ini (dana Rp2 miliar), dibahas berdasarkan aspirasi yang berkembang saat dewan melakukan reses,” jelasnya. (bdu)

Mesin Cuci dan Tempat Tidur di Kantor Sekda?

Dahsyat! Sekretariat Daerah Perlu Mesin Cuci dan tempat tidur di kantor?
Peringatan terhadap Badan Anggaran DPRD Kalbar untuk pembahasan RAPBD 2010



Sungguh menakjubkan dan terlihat miris sekali ternyata penganggaran yang tidak efektif dan efisien kembali menghiasi tata kelola keuangan di pemerintahan propinsi Kalimantan Barat. Ini akan menjadi catatan kepada badan anggaran DPRD propinsi Kalimantan Barat dalam pembahasan APBD 2010 agar jangan diulangi kembali. Pada penganggaran tahun 2009 ditemukan sejumlah alokasi anggaran yang tidak efektif pada pos secretariat daerah yang memberikan alokasi anggaran senilai Rp. 348,7 juta Dengan rincian sbb:

No. Jenis belanja Total
1. kulkas 24.000.000
2. Pengadaan mesin cuci 24.000.000
3. Peralatan dapur 50.000.000
4. Perlengkapan dapur 34.500.000
5. Pengadaan computer PC 100.000.000
6. printer 6.000.000
7. Tempat tidur 30.725.000
8. gorden 79.500.000
total 348.725.000

Pertanyaan kemudian muncul adalah apa korelasi positif antara tempat tidur, mesin cuci dan peralatan dan perlengkapan dapur terhadap kinerja aparatur secretariat dewan? Jika untuk kebutuhan konsumsi dan seterusnya lalu kemana anggaran yang dialokasikan sejumlah Rp. 2 M untuk makan dan minum dan Rp. 5juta - 13 juta belanja makan dan minum dalam setiap program?

Penganggaran seperti ini terjadi setiap tahun, bahkan berulang-ulang secara merata di setiap program. jika hal ini dikaji secara ilmiah maka akan ditemukan bahwa aparatur menggunakan sendok, piring, garpu, gelas, pisau dengan system habis pakai artinya tidak digunakan lagi setelah digunakan dengan kata lain dibuang. Hal ini tentu diluar pengkajian nalar rasional jika pembelian alat yang berulang2 setiap tahunnya secara terus menerus. Jika hal ini terjadi maka akan terdapat akumulasi barang dan jasa. Bayangkan! Berapa banyak piring, sendok, garpu dan lain-lain jika setiap tahun menganggarkan untuk pembelian alat ini? Mungkin yang terlihat di kantor sekda adalah tumpukan-tumpukan peralatan dapur yang tidak digunakan lagi. Belum lagi ditambah Gorden senilai Rp. 79,5 juta yang dianggarkan setiap tahun juga, berapa lapis gorden di jendela kantor hingga tahun 2010?

Jika penggunakan anggaran Rp. 348,7 juta tersebut dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan anak SD yang tidak bersekolah (40% anak usia sekolah tidak bersekolah) dengan anggaran Rp. 10,8 juta hingga lulus SD (hasil riset JARI 2007 bahwa anggaran anak usia SD adalah Rp. 1,8 juta/anak/ tahun) maka akan menyelamatkan kuranglebih 32 orang siswa yang tidak mampu untuk menyelesaikan sekolah dasar hingga tamat sekolah.
Wajar jika Kalimantan barat merupakan daerah yang mempunyai status ketahanan pangan yang terjamin ditingkat wilayah tetapi proporsi rumahtangga rawan pangan berkisar 22-30 persen dan tergolong daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, salah satu diantaranya karena pengelolaan sumber daya yang tidak baik dari aparatur.

Kembali Anggaran BANSOS menjadi Problem!

Kembali Anggaran BANSOS menjadi Problem!
-Saatnya pemkot belajar dan peduli kritik-



BANSOS sebagai salah satu mata anggaran yang menyebabkan LKPD 2008 kota Pontianak mendapat prediket Disclaimer Opinion seharusnya tidak perlu terjadi jika pemkot mau dengan legowo menerima kritik yang dibangun beberapa tahun belakangan ini. Pada dasarnya tidak ada problem yang mendasar jika pemkot bisa mempertanggungjawabkan siapa-siapa penerima anggaran bantuan Sosial tahun 2008 berikut besaran alokasinya. Karena dari data tersebut akan terlihat keberpihakan anggaran bantuan sosial tersebut untuk kelompok mana saja. Karena tidak bisa dipungkiri dalam iklim politik praktis seperti ini banyak kelompok studi atau komunitas yang fiktif atau hadir hanya sebagai kanalisasi kekuasaan yang berdiferensiasi menjadi mesin politik. Kita harus mengetahui secara detail siapa yang memiliki lembaga tersebut, bagaimana anatomi relasinya dll. Bisa jadi lembaga yang disodorkan secara formal merupakan lembaga yang berkedok sosial tetapi tidak memiliki progress yang jelas atau ada unsur titipan dari pihak-pihak tertentu. Karena kita tidak memungkiri bahwa relasi korupsi seperti itu juga terjadi. Sehingga distribusi anggaran harus jelas pertanggungjawaban serta mekanisme dan output yang terukur sebelum diberikan bantuan.

Realisasi anggaran seharusnya disesuaikan dengan kinerja yang diberikan oleh sub unit penerima anggaran pemerintah. Artinya semakin tinggi anggaran yang diberikan seharusnya berdampak terhadap semakin berkualitasnya pelayanan kepada masyarakat. JARI sudah mengingatkan pada pemerintah kota pontianak bahwa akan ada problem pada penganggaran Tahun 2008 terkait dengan belanja bantuan sosial dan bisa dibuktikan di media, trend anggaran pada Pos Belanja Bantuan Sosial dan hibah yang meningkat hingga 35,3 M. Hal ini berbanding terbalik Jika dibandingkan dengan anggaran untuk penanganan masalah kesejahteraan masyarakat marginal kota pontianak yang hanya sejumlah Rp. 120 Juta atau sekitar 0,3 persen dari biaya bantuan sosial tersebut, atau program peningkatan peningkatan kualitas pelayanan pubik Rp. 128 juta atau sekitar 0,36 persen dan jika dibandingkan dengan program penangggulangan kemiskinan daerah kota pontianak yang hanya menggunakan anggaran sebesar Rp. 156 juta atau 0,44 persen dari total anggaran belanja bantuan sosial. Pada dasarnya pemberian bantuan tersebut tidak menjadi soal jika memberikan impact yang nyata untuk pembangunan, dapat dipertanggungjawabkan alokasinya kepada publik, terukur capaiannya serta tepat sasaran.

Jika pemkot beralasan bahwa alokasi tersebut sudah di bahas di DPRD maka ada beberapa argumen untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, tidak mungkin DPRD mengkaji satu persatu mata anggaran yang ada dalam RAPBD secara detail dengan waktu yang singkat. Secara keseluruhan dewan hanya mengkaji hal-hal yang bersifat umum dan tidak mungkin sanggup dengan detail mengkaji apalagi eksekutif menyerahkan RAPBD dipenghujung waktu deadline final pembahasan. Kedua, tidak menutup kemungkinan terjadi kesepakatan politik antara legislatif dan eksekutif dalam pembahasan APBD tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan pembagian anggaran proyek yang disepakati di belakang ruang rapat dan mata anggaran yang lainnya.

Selain total belanja bantuan sosial plus hibah yang bernilai Rp. 35,3 M tersebut, terdapat mata anggaran tambahan berupa belanja untuk Inventarisasi belanja bantuan sosial Rp. 144,2 juta dalam pos BPKKD. Selama ini tidak pernah terekspose secara transparan berapa proposal yang masuk dan berapa yang diberikan bantuan sehingga wajar jika semua pihak mencoba untuk meminta penjelasan lebih lanjut karena trend politik anggaran seperti ini terjadi tiap tahunnya. Dan bahkan terjawab dengan permasalahan pada mata anggaran tersebut juga tiap tahunnya.

Kebijakan penurunan jumlah alokasi anggaran bansos pada pembahasan anggaran berikutnya akan memberikan hasil yang sama pula jika pemerintah memang tidak terbiasa dengan iklim transparan, partisipatif dan akuntabel dengan pelaporan penggunaan anggaran yang ketat. Pertanyaannya kemudian siapa yang akan bertanggung jawab terhadap pemborosan keuangan daerah yang telah terjadi sesuai dengan hasil audit yang dilakukan BPK? Jika dihitung, jumlah yang tidak bisa di pertanggungjawabkan dari hasil audit LKPD tahun 2008 adalah sebesar 50,224 M

Untuk memperjelas dugaan tersebut, tidak ada salahnya jika pemkot membeberkan saja siapa-siapa pengguna anggaran tersebut berikut besaran alokasinya kepada publik lewat media massa. Karena bisa jadi aliran anggaran hanya berputar di kalangan terdekat saja. Hanya pemerintahan yang profesional yang berani untuk transparan.