Prakata

Hanya sebagai ekspresi atas ketidakadilan di negeri ini_______

29 Juni 2010

Kembali Anggaran BANSOS menjadi Problem!

Kembali Anggaran BANSOS menjadi Problem!
-Saatnya pemkot belajar dan peduli kritik-



BANSOS sebagai salah satu mata anggaran yang menyebabkan LKPD 2008 kota Pontianak mendapat prediket Disclaimer Opinion seharusnya tidak perlu terjadi jika pemkot mau dengan legowo menerima kritik yang dibangun beberapa tahun belakangan ini. Pada dasarnya tidak ada problem yang mendasar jika pemkot bisa mempertanggungjawabkan siapa-siapa penerima anggaran bantuan Sosial tahun 2008 berikut besaran alokasinya. Karena dari data tersebut akan terlihat keberpihakan anggaran bantuan sosial tersebut untuk kelompok mana saja. Karena tidak bisa dipungkiri dalam iklim politik praktis seperti ini banyak kelompok studi atau komunitas yang fiktif atau hadir hanya sebagai kanalisasi kekuasaan yang berdiferensiasi menjadi mesin politik. Kita harus mengetahui secara detail siapa yang memiliki lembaga tersebut, bagaimana anatomi relasinya dll. Bisa jadi lembaga yang disodorkan secara formal merupakan lembaga yang berkedok sosial tetapi tidak memiliki progress yang jelas atau ada unsur titipan dari pihak-pihak tertentu. Karena kita tidak memungkiri bahwa relasi korupsi seperti itu juga terjadi. Sehingga distribusi anggaran harus jelas pertanggungjawaban serta mekanisme dan output yang terukur sebelum diberikan bantuan.

Realisasi anggaran seharusnya disesuaikan dengan kinerja yang diberikan oleh sub unit penerima anggaran pemerintah. Artinya semakin tinggi anggaran yang diberikan seharusnya berdampak terhadap semakin berkualitasnya pelayanan kepada masyarakat. JARI sudah mengingatkan pada pemerintah kota pontianak bahwa akan ada problem pada penganggaran Tahun 2008 terkait dengan belanja bantuan sosial dan bisa dibuktikan di media, trend anggaran pada Pos Belanja Bantuan Sosial dan hibah yang meningkat hingga 35,3 M. Hal ini berbanding terbalik Jika dibandingkan dengan anggaran untuk penanganan masalah kesejahteraan masyarakat marginal kota pontianak yang hanya sejumlah Rp. 120 Juta atau sekitar 0,3 persen dari biaya bantuan sosial tersebut, atau program peningkatan peningkatan kualitas pelayanan pubik Rp. 128 juta atau sekitar 0,36 persen dan jika dibandingkan dengan program penangggulangan kemiskinan daerah kota pontianak yang hanya menggunakan anggaran sebesar Rp. 156 juta atau 0,44 persen dari total anggaran belanja bantuan sosial. Pada dasarnya pemberian bantuan tersebut tidak menjadi soal jika memberikan impact yang nyata untuk pembangunan, dapat dipertanggungjawabkan alokasinya kepada publik, terukur capaiannya serta tepat sasaran.

Jika pemkot beralasan bahwa alokasi tersebut sudah di bahas di DPRD maka ada beberapa argumen untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, tidak mungkin DPRD mengkaji satu persatu mata anggaran yang ada dalam RAPBD secara detail dengan waktu yang singkat. Secara keseluruhan dewan hanya mengkaji hal-hal yang bersifat umum dan tidak mungkin sanggup dengan detail mengkaji apalagi eksekutif menyerahkan RAPBD dipenghujung waktu deadline final pembahasan. Kedua, tidak menutup kemungkinan terjadi kesepakatan politik antara legislatif dan eksekutif dalam pembahasan APBD tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan pembagian anggaran proyek yang disepakati di belakang ruang rapat dan mata anggaran yang lainnya.

Selain total belanja bantuan sosial plus hibah yang bernilai Rp. 35,3 M tersebut, terdapat mata anggaran tambahan berupa belanja untuk Inventarisasi belanja bantuan sosial Rp. 144,2 juta dalam pos BPKKD. Selama ini tidak pernah terekspose secara transparan berapa proposal yang masuk dan berapa yang diberikan bantuan sehingga wajar jika semua pihak mencoba untuk meminta penjelasan lebih lanjut karena trend politik anggaran seperti ini terjadi tiap tahunnya. Dan bahkan terjawab dengan permasalahan pada mata anggaran tersebut juga tiap tahunnya.

Kebijakan penurunan jumlah alokasi anggaran bansos pada pembahasan anggaran berikutnya akan memberikan hasil yang sama pula jika pemerintah memang tidak terbiasa dengan iklim transparan, partisipatif dan akuntabel dengan pelaporan penggunaan anggaran yang ketat. Pertanyaannya kemudian siapa yang akan bertanggung jawab terhadap pemborosan keuangan daerah yang telah terjadi sesuai dengan hasil audit yang dilakukan BPK? Jika dihitung, jumlah yang tidak bisa di pertanggungjawabkan dari hasil audit LKPD tahun 2008 adalah sebesar 50,224 M

Untuk memperjelas dugaan tersebut, tidak ada salahnya jika pemkot membeberkan saja siapa-siapa pengguna anggaran tersebut berikut besaran alokasinya kepada publik lewat media massa. Karena bisa jadi aliran anggaran hanya berputar di kalangan terdekat saja. Hanya pemerintahan yang profesional yang berani untuk transparan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar